Minggu, 17 Juni 2012

Pariwisata Indonesia 2012: Tahun Pembuktian dan Harapan Perubahan

SEPANJANG tahun 2011,  dunia menghadapi tiga peristiwa terbesarnya yakni  ekonomi yang tidak stabil sebagai dampak krisis ekonomi Amerika Serikat danEropa, instabilitas politik dengan berbagai demonstrasi dan tergulingnya sejumlah pemimpin di Afrika Utara/ Timur Tengah, serta bencana alam yang merenggut sejumlah wilayah di dunia.


Beberapa dari peristiwa ini ada yang tidak terlalu berpengaruh kepada pariwisata Indonesia, namun ada juga yang berpengaruh langsung. Krisis ekonomi AS dan Eropa secara langsung tidak terlalu berdampak, selain karena jumlah kunjungan wisatawan asal negara-negara ini ke Indonesia terbilang kecil, juga karena ada keyakinan berdasarkan pengalaman sejauh ini, krisis ekonomi tidak terlalu signifikan menurunkan kunjungan, kecuali pada sisi pengeluaran yang lebih kecil daripada waktu normal.

Gelombang aksi unjukrasa di Timur Tengah, khususnya di destinasi wisata popular di kawasan ini, yakni Mesir dan Tunisia, telah berdampak sangat serius terhadap kunjungan ke negara tersebut, akibat instabilitas keamanan, namun di satu sisi justru memberikan “keuntungan” bagi negara-negara di yang memiliki pantai di kawasan Laut Medirania, seperti Spanyol, Turki, Italia, dan Yunani.  Namun terhadap Indonesia, tentunya kurang signifikan salah satunya karena faktor jarak yang begitu jauh, meskipun sebenarnya tetap membuka peluang besar jika saja Indonesia mampu memberikan sentuhan pemasaran yang cepat tanggap, khususnya bagi wisatawan asal Eropa dan Eropa Timur (Perancis, Rusia, Jerman, Italia dan Inggris).

Beberapa peristiwa bencana alam, khususnya yang terjadi di Jepang, juga banjir besar di Thailand, dapat disebut memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap Indonesia. Pengaruhnya, tentu saja, bisa dalam berbagai bentuk sesuai negaranya. Untuk Jepang, signifikansinya tentu karena negara ini merupakan lima besar negara sumber wisatawan bagi Indonesia, dan nomor dua terbesar untuk Bali.  Sementara bencana banjir di Thailand, bukan dalam konteks penurunan wisman asal Thailand ke Indonesia yang sebenarnya terbilang kecil, tapi justru kekurang  jelian kita dalam menangkap peluang untuk “mengalihkan” kunjungan wisatawan dari negara-negara lain yang sedianya berkunjung ke Thailand ke destinasi wisata di Indonesia. Sebut saja pasar utama mereka Malaysia, China, Inggris dan Jepang. Hal yang sama juga berlaku bagi Indonesia saat Jepang diguncang gempa dan bencana radiasi PLTN Fukushima.

Di dalam negeri, sejumlah peristiwa yang terkait pariwisata yang patut diperhitungkan antara lain adalah perubahan nama kementerian dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan bergesernya pejabat yang memimpinnya yaitu Jero Wacik yang dipindah ke Kementerian ESDM, dan digantikan oleh Mari Elka Pangestu di kementerian pariwisata, yang sebelumnya menduduki Menteri Perdagangan. Perubahan-perubahan itu semakin menarik ketika Presiden SBY memilih untuk mengangkat seorang wakil menteri yakni Sapta Nirwandar, yang sebelumnya menjabat Dirjen Pemasaran, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Selanjutnya adalah pelaksanaan sejumlah event MICE dan sport event antara lain SEA Games XVI dengan pembangunan berbagai venue di Palembang, Sumatera Selatan; pelaksanaan sejumlah pertemuan ASEAN mulai dari berbagai tingkatan pejabatnya, mulai dari menteri, hingga kepala negara/kepala pemerintahan seperti KTT ASEAN, KTT ASEAN plus 3 dan KTT Asia Timur, yang juga dihadiri Presiden AS Barack Obama dan PM China Wen Jiabao. Indonesia juga berhasil menggelar pertemuan pariwisata, Konferensi Pariwisata Indonesia untuk membahas persoalan yang terkait destinasi, keterpaduan antara pusat dan daerah dan hal-hal yang terkait dengan industry, meski masih perlu diuji apakah “apa yang terucap akan sama dengan apa yang diperbuat”.

Dari sisi destinasi, kita melihat menonjolnya beberapa destinasi pada tahun 2011, seperti Solo plus Yogyakarta dan Semarang (Jawa Tengah dan DI Yogyakarta), Lombok (NTB), Bangka Belitung, dan Sulawesi Selatan (Sulsel), termasuk Komodo (NTT).  Dapat disebut penonjolan itu lebih kuat dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing daripada oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata., kecuali dalam konteks pengembangan Kawasan Mandalika, Lombok, yang masih terkait dengan program MP3EI dari pemerintah. Persoalan ini ditutup dengan manis dengan kasus “pertengkaran” yang terjadi oleh pejabat di kementerian dalam kasus Komodo dengan pihak New7Wonders Foundation, yang menunjukkan bahwa kemenangan Komodo pada ajang itu adalah oleh kekuatan massa yang dikomandoi Jusuf Kalla, terlepas dari pro dan kontra mengenai kredibilitas penyelenggara ajang itu.

Dari sisi pemasaran, kita mendengar berbagai program pemasaran yang dilakukan mulai awal tahun 2011 dengan mengikuti berbagai pameran dan road show di luar negeri, namun sayangnya belum diketahui bagaimana efektivitas semua kegiatan yang menghabiskan anggaran cukup besar tersebut. Termasuk disini adalah pembiayaan sejumlah event wisata, pasar wisata, dan sport tourism di sejumlah daerah di Indonesia. Pertanyaannya adalah bagaimana dampak promosi dan pemasaran event tersebut terhadap pariwisata Indonesia? Mengapa sulit untuk mendatangkan peserta lebih banyak dari luar negeri? Kementerian juga gagal membentuk Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang merupakan amanat UUNo10/2009 tentang Kepariwisataan, namun disisi lain akibat dinamika yang begitu kuat dan peluang yang diberikan UU No10/2009 kita juga melihat trend pembentukan badan promosi di daerah, yang sebagian bergerak namun sebagian lagi stagnan. Kita tidak sepenuhnya mempersalahkan daerah dalam persoalan ini, tapi justru ikut menjadi tanggung jawab pusat yang kurang bisa memberikan tuntunan yang baik dan benar dalam urusan ini
Selain itu, strategi pemasaran yang masih terpaku pada pameran di luar negeri dan road show menunjukkan miskinnya pengelolaan pemasaran yang dilakukan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Tantangan yang menarik dari sisi online atau e-commerce yang belum begitu serius digarap, termasuk masih lemahnya industry dalam mengembangkan strategi pemasaran secara online. Yang lebih merepotkan, sepertinya belum terbentuknya sebuah formulasi yang mantap mengenai kerjasama antara “destinasi” dan “pemasaran”, terhadap persoalan ”siapa yang berhak untuk mengelola apa”, termasuk belum terintegarasinya bidang-bidang di kementerian saat berhadapan dengan sebuah event yang seharusnya bisa digarap bersama-sama.


Tantangan 2012
Bagaimana dengan tahun 2012 ini? Tahun ini, menurut saya akan menjadi tahun pembuktian, tahun dan kerja keras, dengan berbagai tantangan perubahan yang harus dijawab jajaran kementerian, termasuk industry dan stakeholder lainnya. Ibarat kancing baju, langkah pertama yang salah akan membuat kancing berikutnya juga salah. Harapan kita, Mari Elka Pangestu bisa dengan smooth melakukan berbagai perubahan itu. Apa saja?
Pertama, tentu saja terkait dengan adanya tantangan restrukturisasi organisasi kementerian dengan masuknya ekonomi kreatif. Saya melihat ini tantangan paling besar, karena akan sangat menentukan bagi perjalanan kementerian pada tahun pertama sejak diangkatnya menteri baru.

Dalam hal ini kita agaknya perlu memberikan saran bahwa konsep ekonomi kreatif harusnya dipandang sebagai pendukung pariwisata, bukan sebaliknya pariwisata sebagai bagian ekonomi kreatif. Cara pandang yang berbeda akan membuat struktur kementerian akan menjadi gemuk, dan bisa akan kehilangan orientasi karena tidak lagi focus kepada pengembangan pariwisata.

Kedua, terkait pemasaran, tahun 2012 akan menjadi tahun tantangan baru bagaimana pemasaran bukan lagi sekadar business as usual, tapi sebuah kondisi yang memaksa harus dengan pendekatan dan metode baru yang lebih efektif dan (kalau boleh) juga efisien. Bila perlu pameran di luar negeri harus dikurangi hanya terhadap event yang sudah terbukti berpengaruh kuat saja, mengurangi negara sasaran hanya kepada negara yang berdampak langsung, dan lebih banyak pada pendekatan bilateral. Harus ada reaksi cepat tanggap dalam arti melakukan intervensi pasar sesuai kondisi yang terjadi di tengah jalan, seperti dalam kasus-kasus yang dialami negara pesaing (seperti dialami Jepang dan Thailand di atas).  Selain itu, perlu keseriusan lebih untuk menggarap sisi online, dengan integrasi destinasi, dunia usaha dan membuka jaringan pemasaran baru di luar negeri. Bahkan demi transparansi public, bila perlu dilakukan review dan pelaporan serta pertanggungjawaban public setiap event pemasaran yang dilakukan di luar negeri.

Ketiga, dari sisi destinasi, Ripparnas memang telah disusun, tapi selain perlu sosialisasi, perlu penajaman-penajaman terkait rencana-rencana pembangunan kewilayahan dan program-program yang dilakukan sektor lain termasuk program-program lain. Kita harus mampu menjawab rencana induk yang sudah dibuat itu bisa menjawab tantangan pengembangan destinasi sesuai  tantangan riil perkembangan kawasan regional, dan mempertimbangkan kondisi geografis, geologis dan sosiologis yang ada. Menurut kami, untuk ke depan, tantangan riil yang kita hadapi terkait persaingan dengan negara tetangga, destinasi terkait dengan Kalimantan (Kalbar dan Kaltim), dan pantai Timur Sumatera (Jambi, Sumsel, Riau, Kepri, Babel) menjadi sangat menentukan, dan tidak boleh dipandang sebelah mata.

Keempat, tantangan efisiensi anggaran. Bagian ini rumit, karena anggaran 2012 tentu sudah ditetapkan sebelumnya. Namun begitu perlu menjadi bahan pemikiran misalnya efektivitas bantuan pendanaan untuk berbagai event, festival dan lainnya yang jangan sampai tidak bertanggungjawab. Salah satu yang sangat membantu tentunya adalah penataan ulang event atau festival yang ada di berbagai daerah, dan mendorong terwujudnya event tetap yang besar dan fokus dalam penggarapannya per destinasi, dan satu event pendukung, bila tidak per provinsi bisa juga perpaduan sejumlah provinsi yang terkait.  Begitu juga dengan event pameran wisata secara nasional, bila perlu didorong agar terjadi merger atau apapun istilahnya sehingga dapat dihasilkan hasil optimal.
Kelima, mengantisipasi pertumbuhan hotel di berbagai daerah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah didukung asosiasi terkait perlu membuat road map pembangunan hotel, dengan tetap menjaga persaingan usaha yang sehat. Bila perlu untuk destinasi tertentu yang kapasitas kamar yang ada sudah sangat melebihi dari potensi kunjungan yang ada untuk melakukan moratorium untuk jangka waktu sementara.

Keenam, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif harus mampu menjawab tantangan riset dan statistik pariwisata dan ekonomi kreatif yang mendukung perkembangan industry melalui kerjasama dengan berbagai pihak. Miskinnya statistik dan riset yang mendukung industri sangat mencemaskan, dan harus kebangkitan pariwisata harus dimulai dari sana, termasuk menyediakan informasi tersebut kepada publik dan industri secara regular. Diantara riset dan statistik yang sangat mendesak untuk diadakan tahun 2012 ini adalah riset dan statistik wisata MICE.

Ketujuh, dari berbagai harapan ini, kita kemudian berharap khusus untuk penerimaan wisatawan mancanegara, adanya kenaikan signifikan yang tidak hanya berkutat pada angka persentase satu digit tapi melompat ke dua digit. Kemudian untuk wisatawan nusantara lebih agresif melalui berbagai skema pemberian kemudahan bagi perjalanan dan kampanye yang terus-menerus sebagai bagian dari Sadar Wisata, serta sinergi antardestinasi yang berdekatan.

Source: http://infopariwisata.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar